MIRROR
Terlihat cahaya terang, kukira itu jalan keluar yang kucari. Ternyata, hanya sebuah cahaya yang terpantul dari beberapa kaca sebuah ruangan. Aku pun melangkah ke ruangan tersebut. Langkahku terhenti dan tercengang. Sebuah ruangan yang besar dan indah. Ranjang yang dapat memuat lima orang. Lemari yang terbuat dari kayu jati asli. Sehingga, aroma kayu tercium begitu menyengat masuk ke dalam hidungku. Aku melihat-lihat seisi ruangan, tak sengaja aku menyentuh sebuah benda yang terlihat kuno. Namun, “kring..kring..kring..” jam weker diatas meja dekat ranjangku berbunyi. “ah sial, hanya mimpi!”, gumamku. Aku terbangun dari mimpi burukku. Bergegas kekamar mandi, kemudian berangkat sekolah. Aku adalah seorang siswi kelas 3 SMP. Namaku Ririn Aira Syafitrie, biasa dipanggil Ririn. Aku seseorang perempuan pendiam, jarang berbicara dan hanya beberapa orang saja yang mengenal diriku.
“Tap..tap..tap..”, aku menuruni anak tangga dengan terburu-buru. Waktu sudah menunjukkan pukul 06.55. Jarak rumah ke sekolah hanya beberapa meter saja, sehingga hanya berjalan kaki saja. Namun, waktu tak mendukung sehingga kaki jenjangku tak henti-hentinya berlari. Hingga sampailah aku disekolah. Memasuki halaman sekolah, tak asing lagi bagiku. Kaki jenjangku terus melangkah, hingga sampailah dikelas. Tas merah muda yang mungil, kutaruh dibangku. Dan seperti biasa, aku hanya terdiam diruangan yang kuanggap neraka. Tembok-tembok yang sedikit rapuh. Papan tulis pun, mungkin tak layak untuk kami pakai. “Tet..tet..tet..”, bel berbunyi. Sebelum pelajaran, diawali dengan tadarus bersama,tenang dan damai. Beberapa menit kemudian, selesailah tadarus bersama. Guru pun datang memasuki kelas. Menyapa dengan sopan, dan langsung memberi materi. “Suntuk”, batinku. Waktu begitu lama saat pelajaran berlangsung. Hanya beberapa materi yang kutangkap. Aku tersentak saat guru menghampiriku dan memberikan sebuah pertanyaan, gugup aku saat itu. Namun, “Tet...tet...tet...”, aku sangat bersyukur dan pergi ke kantin. “Huh, kantin yang padat dan aroma yang tak mengenakkan”, gumamku. Ya, aku sudah terbiasa dengan sekolah ini. Pernah terpikirkan pindah sekolah, namun apa daya dengan keadaan saya ini, sudahlah.
“Tet..tet..tet..”, bel masuk sudah berbunyi. Waktu istirahat telah usai. Dan tiba-tiba, suasana sunyi dan menegangkan. “Selamat siang anak-anak!”, sapaan seorang guru yang membuat suasana berubah seketika. Anak-anak pun hanya menjawab pelan. “Keluarkan buku paket Matematika kalian, dan buka halaman 120!”, perintahnya. Tanpa basa-basi anak-anak sekelas menuruti perintah guru tersebut. Guru matematika yang biasa disapa ibu Rena ini, menjelaskan materi secara detail. Tak terasa waktu empat jam pelajaran telah usai. Suara surga bagi anak-anak sekolah seperti kami. Akupun beranjak keluar dari ruangan dan pulang.
Langkahku yang semula santai dan tanpa beban. Kini, aku melangkah dengan penuh pikiran dan perasaan yang tak menyenangkan. Berusaha menghilangkan perasaan itu, tetapi tak hilang jua. Akupun berlari dengan nafas yang tersengal-sengal, kuhiraukan itu semua. Sampailah aku dirumah. Rumah yang tak begitu mewah dan sederhana. Aku langsung memasuki ruangan depan tanpa memberi salam. Berteriak memanggil ibu, namun tak ada jawaban. Mencari-cari ke seluruh ruangan rumah, namun tak kutemui beliau. Air mataku menetas perlahan. “Dimana Ibu?”, gumamku diiringi dengan tangisan sendu. “Tok..tok..tok..”, aku langsung berlari ke ruangan depan. Kusambut dengan riang, karena kukira itu ibu. Tetapi, itu bukan ibu yang kumaksud. Hanya seseorang tukang pos yang mengantarkan surat. Akupun masuk dengan perasaan yang gelisah. Beberapa menit kemudian, suara ketukan pintu terdengar. ”Semoga tak terjadi apa-apa”, gumamku. Aku langsung membuka pintu. “Ibu..!!”, kupeluk ibu dengan erat. Ibu kebingungan dengan sikapku. Namun, langsung beliau hiraukan. Aku dan ibu masuk dengan membawa belanja dari pasar dan kain-kain untuk membuat tas. Perasaanku lega, saat ibu pulang dengan keadaan baik-baik saja. Ibu menyuruhku tidur siang, kuturuti perintahnya. Aku kekamar, yang tak terlalu sempit dan tak terlalu luas. Mataku terpejam saat aku mendengarkan lagu kesukaanku.
Vina pun tertidur pulas. Dan mimpi itu berlanjut. Ia menyentuh sebuah cermin berbentuk hati. Ia mengambil cermin yang menurutnya begitu unik. Cermin itu memantulkan cahaya yang begitu silau. Matanya tak dapat melihat apa-apa karena pantulan cahaya tersebut. Ia berusaha untuk membuka matanya kembali. Lalu, saat ia membuka mata, ia berada ditempat yang berbeda dan seperti kenyataan. Ia terbangun dari mimpi itu. Saat ia membuka mata, tempat itu sama persis dengan yang ada dalam mimpinya. Turunlah ia dari ranjang yang kini begitu sangat luas untuknya. Melihat seisi kamar yang begitu mewah, ia terkejut. Langkah demi langkah ia menuruni anak tangga. Melihat rumah yang sederhana dan kini mewah hanya seketika benar-benar seperti mimpi. Ia pun mengucek-ucek mata dan mecubit dirinya sendiri, tetapi pada akhirnya ini semua adalah kenyataan. Dan kini, ibunya pun terlihat begitu cantik, dan seperti ratu di istana. Melihat ayahnya membaca koran, adiknya yang sedang bermain dengan mainan yang begitu mahal dan tak mungkin bisa keluarganya membeli sebanyak itu. Ia terus mengucek mata. Kemudian, ia tersentak kaget. Seseorang menepuk pundaknya, dan memanggilnya “Tuan putri”. Dengan cepat ia ke kamar untuk bersiap-siap berangkat sekolah. Ia ke sekolah dengan mobil yang berpengawal. Tempat sekolahnya pun indah, bersih dan tembok-tembok yang bersinar. Semua orang tak mengenalnya, kini ialah seorang perempuan yang terkenal dan terpopuler. Bagaikan mimpi yang menjadi kenyataan.
Jam pelajaran pun dimulai. Ia masih memikirkan peristiwa yang dialaminya tadi pagi. Perasaannya bercampur aduk. Dan tak terasa begitu cepat waktu berputar. Bel berbunyi tiga kali, tandanya bel pulang. Sesampainya digerbang sekolah, sudah ada yang menunggunya. Mobil yang mengantarkannya tadi pagi. Ia pulang dan sesampainya dirumah ia langsung berlari ke kamar. Memegang cermin yang membawanya seperti sekarang ini. Melihatnya cermin tersebut. Ada bayangan yang agak kabur yang tampak dari cermin tersebut, namun ia tahu siapa yang ada didalam cermin tersebut. Ia mencari tahu apa yang terjadi selanjutnya.
Keesokan harinya, ia melakukan aktivitas seperti biasa. Berangkat sekolah dan menuntut ilmu ditempat yang dianggapnya sekarang surga. Desas-desus suara siswa dan siswi mulai membuatku penasaran, dan akhirnya aku bertanya pada salah satu siswi. “Hei, ada apa ya? Kok ramai sekali”, tanyaku dengan sopan. “Hmm tidak, itu ada kabar, Virna baru saja mendapatkan musibah” jawab siswi tersebut. Aku sedikit heran apa yang tergambar dari cermin tersebut menjadi kenyataan. Lalu, aku bertanya kembali kepada siswi bernama Chika, “Dia mendapat musibah apa, Chik?”. Chika menjawab,” Baru saja dia kecelakaan mobil”. Aku pun pergi dan berterima kasih.
Waktu berjalan begitu cepat. Bel pulang pun berbunyi. Seperti biasa, aku sudah di tunggu di pintu gerbang. Mobil berlaju kecepatan sedang. Lalu aku meminta pak supir untuk mampir ke sebuah taman dekat rumah. Hanya membutuhkan waktu 5 menit, aku sampai di taman kesukaan itu. Aku duduk di bawah pohon yang rindang dan begitu kokoh. Dengan segelas kopi hangat yang baru aku beli dari sebuah cafe. Aku memikirkan sebuah cermin yang baru aku dapat dari mimpi itu. Cermin itu aku ambil dari tas. Pandanganku tak berkedip dan muncul gambaran yang membuatku terkejut. Gambar itu menunjukkan ada seseorang yang aku sayang meninggal. Aku langsung masuk mobil dan pak supir menancap gas. Mobil melaju cepat. Begitu sampai dirumah, keadaannya sangat ramai dan bendera kuning berkibar-kibar karena terkena angin. Aku berlari masuk kedalam rumah. Ibuku dalam keadaan menangis, dan kulihat nenekku terbaring tak bernyawa. Langkahku pelan menghampiri nenek. “Kenapa nenek tinggalkan aku? Kenapa nenek pergi saat aku tak ada dirumah? Kenapa Nek?”, air mataku mengalir deras membasahi pipiku yang gembul. Ayah baru saja pulang setelah seseorang mengabari hal ini. Aku tak dapat berbuat apa-apa lagi. Aku mengurung diri dikamar sambil menangis.
Satu tahun sudah aku mengalami hal-hal aneh dari cermin tersebut. Memang hal ini hanya kebetulan, atau mungkin memang sudah ditakdirkan olehYang Maha Kuasa. Entahlah aku tak mengerti. Dan terakhir kalinya aku melihat cermin tersebut, saat nenek pergi meninggalkan aku. Ingin sekali aku melihat cermin itu, namun aku takut jika terjadi hal-hal yang tak kusuka. Hidupku kini seperti diambang mimpi. Semua kejadian begitu cepat. Setahun sudah aku tak bersama nenek. Nenek yang selalu menemaniku, mengajakku, dan menasihatiku hingga rasanya tenang saat mendengarkan kata-kata nenek. Namun, nenek kini sudah tiada, aku belum bisa menerimanya, tetapi sudahlah.
Aku membuka gorden dan jendela kamar. Hembusan angin mengibaskan rambut ikalku. Mataku tertuju pada seekor kupu-kupu. Kicauan burung begitu nyaring terdengar ditelingaku. Kakiku melangkah menuju kamar mandi. Tubuhku kini begitu segar saat air dari shower menyentuhnya. Aku memilih baju agak santai dan pergi ke sebuah cafe. Mobil yang dikendarai oleh pak supir melaju dengan cepat. Cafe yang kutuju sudah didepan mata. Rasanya kakiku sudah tak sabar ingin masuk, akhirnya dengan cepat aku memasuki cafe. Belum sempat aku duduk, pelayan sudah ada di pandanganku. Aku hanya memesan coffe latte special, cake keju dan es krim vanilla. Hanya beberapa menit saja, pelayan itu kembali lagi. Aku memainkan laptop yang sudah tersedia di cafe ini. Ada seseorang yang mengajakku chat, namun aku hiraukan. Aku pun melihat-lihat akun facebook. 100 notification, 55 permintaan teman, dan 30 inbox. Namun, aku abaikan lagi. Saat aku membuka akun twitter, banyak yang memfollow dan mention, dan kuabaikan lagi. Kemudian, kumatikan laptop tersebut dan memakan makanan dengan santai yang sudah aku pesan tadi. Tiba-tiba, handphoneku bergetar dan langsung kuraih dari dalam tasku.
1 new message
Ryan
18.30
Kubuka pesan tersebut. “Rin, lo ada dimana? Lupakan lo buat jalan bareng sama kita, gue udah ada di rumah lo nih..!”, pesan itu langsung aku balas. Tanpa basa-basi aku langsung membayar dan pak supir mengendarai dengan cepat.
BRUUK, “sial, gue nabrak orang lagi!”. Aku pun turun dari mobil. Pandangan mataku selalu memandang wajah tampan seseorang yang kutabrak tadi. Aku sampai lupa dengan janjiku pada teman-teman, aku pun langsung pergi dan meminta maaf. Lagipula, orang tersebut tak ada yang terluka. Mobil yang kukendarai, kini sudah sampai depan rumah. Aku turun dari mobil dan berlari masuk menuju kamar untuk mengganti pakaianku. Hanya beberapa menit, aku turun dan pergi kembali menemui teman-temanku. Aku pun berangkat.
Tempat yang sudah direncanakan kemarin, kini kaki hanya melangkah masuk saja. Terheran saat aku duduk di sebelah orang yang kutabrak tadi. Namun, temanku memperkenalkan diriku dengan dirinya. “Rin, kenalin ini Fikar, Fikar kenalin ini Ririn”, Ryan memperkenalkan aku dengan dirinya. Kami pun berjabat tangan. Kemudian memesan makanan dengan sesuka hati. Kami berbincang-bincang ria dan bercanda-canda. Saat waktu menunjukkan pukul 20.30, kami bersiap-siap pulang. Kami pun pulang dengan hati yang senang. Tetapi, tidak untuk diriku. Sesampainya aku dirumah, aku memasuki kamarku dan mengunci pintu. Rasa penasaranku akan sebuah cermin itu, kini kulihat kembali. Layar cermin itu menunjukkan tulisan yang tak begitu jelas, namun ada sebuah tulisan “cinta 3 tahun lalu”. Kuhiraukan sejenak tentang cermin itu. Tiba-tiba handphoneku bergetar. Layar hp itu menunjukkan sebuah pesan dari teman sewaktu SD, Ricky namanya. Aku membaca pesan itu. Satu jam berlalu saat aku berbincang lewat sms. Mataku sudah merem melek karena kantuk. Handphoneku bergetar lagi saat mataku sudah keadaan tertidur. Tetapi aku tetap membuka pesan itu. Aku terkejut saat dia menyatakan perasaannya itu. Mataku yang sedari tadi sudah tak karuan, kini melotot begitu menyala. Tak langsung kubalas pesan darinya. Namun, dia terus bertanya “apakah mau?”. Pada akhirnya, pesan itu kubalas singkat, setelah aku berpikir berjam-jam lamanya. Kini, aku dan Ricky mempunyai hubungan yang tak sekedar teman SD, tetapi sepasang kekasih yang baru saja mendapatkan permen gulali yang sangat manis. Dan akhirnya, Ririn pun percaya bahwa cermin itu tak membawanya kesialan. Ririn menghiraukan kejadian satu tahun yang lalu tentang cermin tersebut. Kini, cermin itu dianggapnya teman mesin waktu. Karena yang terlihat dari cermin tersebut menjadi peristiwa kenyataan. Awalnya cermin itu ingin ia buang, tetapi malah ia rawat. Cermin itu ia pajang didalam lemari. Karena itu, tak ada seorang pun yang melihat dan mengetahui cermin tersebut.